Selasa, 02 April 2013

Hatimu, Novel Pertamaku

#MainArticle

Hatimu, Novel Pertamaku

 
Hatimu, Novel Pertamaku
Salsa Oktifa

Waktu saya duduk di bangku Sekolah Dasar, tulisan-tulisan yang saya hasilkan hanya seputar karangan untuk tugas mata pelajaran Bahasa Indonesia dan buku harian. Lalu, saat sudah menginjak Sekolah Menengah Pertama, tulisan-tulisan yang saya hasilkan berkembang menjadi cerpen dan novel tulis tangan di buku tulis tentang sebuah film yang saat itu sedang happening (film dirahasiakan, hehe). Lanjut, saat menjalani Sekolah Menengah Atas, tulisan-tulisan yang saya hasilkan semakin beragam seperti koran humor tulis tangan pada beberapa lembar kertas folio—yang beredar di kalangan terbatas, puisi-puisi, cerpen-cerpen—yang dimuat dalam majalah remaja nasional dengan nama samaran, dan beberapa novel yang tidak pernah berhasil saya selesaikan. And then, dengan bertambahnya usia, pengetahuan, kedewasaan dan pemahaman akan sebuah komitmen dalam menulis, maka saya berusaha sepenuh jiwa raga untuk belajar menyelesaikan tulisan yang pernah saya mulai.

Novel Hatimu adalah novel pertama yang saya selesaikan. Novel klasik tentang cerita cinta segitiga dalam sebuah persahabatan. Saya menyelesaikan draft awal novel itu kira-kira dalam waktu setengah tahun. Lalu, pada saat Christian Simamora menelepon dan memberitahu bahwa novel itu berkesempatan untuk dipublikasikan oleh GagasMedia, saya benar-benar baru merasakan dan memahami setengah arti dari kalimat ‘dream come true’. Saya masih harus merevisi sana-sini. Kesulitan datang pada saat saya mengalami kecelakaan. Dengan kondisi pergelangan tangan semi-patah dan keretakan tulang pada jari telunjuk dan jari tengah tangan kanan saya membuat aktifitas menulis dengan terpaksa dihentikan. Semangat menyelesaikan revisi membuat saya mencuri waktu dan kesempatan untuk menulis. Namun, saya tidak bisa menulis lebih dari satu paragraf pendek, karena jari dan tangan saya akan terasa sakit jika diporsir terlalu lama. Dan saya tidak bisa menyelesaikan revisi sesuai tenggat waktu. See, that dream actually not really come true that fast, hehe.

Kira-kira enam bulan kemudian saya memulai untuk melanjutkan revisi novel tersebut dan mengirimkannya kembali pada penerbit yang sama. Lalu dibantu oleh Christian Simamora dan EnHa—terimakasih karena bersedia memberi saya kesempatan kedua, selama rentang waktu kira-kira satu tahun novel saya selesai revisi dan naik cetak, hingga diedarkan sejak November 2012. Dan pada akhirnya menemukan satu-satunya bagian ‘tidak nyaman’ menjadi penulis, yaitu saat orang-orang terdekat disekeliling saya mencecar dengan pertanyaan semacam: “Itu cerita pribadi?”, “Itu cerita tentang siapa, sih?”, “Gue kenal orangnya nggak, sih?”, melebihi rasa tidak nyaman saat pembaca di bentang ruang yang lain yang tidak saya kenal dan mengenal saya mengatakan: “Ceritanya bikin bingung!” It’s just about Agia, Rain dan Bari. It’s just about my character. It’s not about me. It’s not my diary. Errr~

Well, saya selalu berpikir, saat saya melihat buku saya berjejer di toko-toko buku, saya akan merasakan setengah yang lain dari kalimat ‘dream come true’ hingga saya sepenuhnya merasakan euforia kalimat itu. Tapi, tidak. Entah sejak kapan mulanya mimpi saya berubah dan bertambah. Tidak lagi cukup melihat buku saya berjejer di toko-toko buku. Tidak lagi cukup melihat satu buku saya berjejer di toko-toko buku. It has to be two, or three, or tens, or hundred. I sounds like a big-mouth now, pardon, hehe. But, seriously, writing rather feels like a jobthat I should commit to be professional, than just a hobby now. And I love it. And I’ll keep it that way. Seperti yang pernah mbak Windi Ariestanty pernah katakan, bahwa menulis bukanlah bakat, melainkan dari keuletan dalam berlatih dan berkarya. Dan seperti yang pernah salah satu kakak sepupu saya pernah ucapkan, bahwa semua penulis yang bukan lagi pemula saat ini adalah seorang penulis pemula pada awalnya, yang terus menulis dan menulis dan menjadi lebih baik.



Tentang Penulis
Merasa bahwa gadget dan sosial media tidak begitu penting. Merasa cukup dengan ponsel non-smartphone dan satu alamat email—yang terpaksa dibuat demi kelancaran berkirim tugas dengan guru dan dosen, serta satu akun twitter—dengan jumlah following dan follower lebih sedikit dari jumlah nama-nama penting dalam phonebook ponselnya.

Merasa bahwa memiliki perpustakaan pribadi dengan koleksi ratusan judul novel adalah sebuah kewajiban. Merasa bahwa tanah basah saat hujan pertama turun dan rumput yang baru saja dipotong memiliki aroma ajaib yang menenangkan. Merasa yakin bahwa karma itu ada. Dan merasa bahwa komitmen more works and worth than love did.

Hates surprise. Hates carrot. Separated miserably towards chocolate, coffee and cigar. Not a cyber-creature. So, do not follow her at @cipacupcup and do not request friend on her at cipa_cupcup@yahoo(dot)co(dot)id. Just mention or email according to the necesity. Or you gonna regret it. I’m serious. I’m not kidding.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar