Selasa, 02 April 2013

Kisah dari PENJUAL KENANGAN: Menjelmakan Cerita Pendek Menjadi Novela/Novel

#MainArticle

Kisah dari PENJUAL KENANGAN: Menjelmakan Cerita Pendek Menjadi Novela/Novel

 
Saya penulis cerpen, ‘napasnya’ pendek, jadi tidak bisa menulis panjang.”

Mungkin kita sering mendengar hal itu sebagai alasan seseorang merasa tak mampu menulis sebuah novel yang “beratus-ratus” halaman. Kalau kamu, apakah itu akan membuatmu tidak melanjutkan cita-cita menjadi penulis?

Saya mengawali menulis dari cerita pendek alias cerpen dan menikmati “status” itu selama beberapa tahun. Sebagai penulis cerpen, dulu, saya hanya berangan-angan untuk menulis novel yang beratus-ratus halaman itu. Lalu, sebuah kesempatan menulis novel datang kepada saya pada 2009, dan saat itu memacu saya untuk “memanjangkan napas” dari cerita pendek menjadi sebuah novel. Taraa, lahirlah novel pertama saya, sebuah novel remaja.

So, mungkin, kita perlu membuang pikiran “saya tidak bisa menulis panjang” dari benak kita. Bebaskan diri dari hal yang menghalangi dirimu untuk berada di zona nyaman-cerita-pendek. Tidak ada orang yang tiba-tiba saja menulis dan langsung menghasilkan beratus-ratus halaman, kan? Ratusan halaman itu tentunya berasal dari satu-dua huruf juga.

Nah, jika kamu merasa kesulitan menulis panjang, mulailah menulis dengan cerpen terlebih dahulu. Lalu, kembangkan cerita itu menjadi sebuah cerita yang lebih panjang—novel atau yang lebih pendek daripada novel, yaitu novela.

Dalam sebuah cerpen yang memiliki “batas ruang” yang sedikit, kita harus mampu membuat cerita “selesai”, sebuah cerita utuh. Seperti rumah, anggap saja sebuah “cerpen” itu merupakan pancang-pancang yang menjadi fondasi dasar cerita dan kita “tinggal” menambahkan tembok, atap, juga pintu dan jendela-jendela. Yup, kata “tinggal” itu merupakan sebuah proses kreatif untuk menjelmakan cerpenmu ke dalam sebuah cerita yang lebih panjang, novela ataupun novel.

Menjelmakan sebuah cerpen menjadi cerita yang lebih panjang itu sebenarnya perlu langkah-langkah seperti membuat novel juga. Kita perlu membuat outline. Bedanya, kita sudah punya sebuah cerita “utuh” yang menjadi dasarnya. Kalau menurut saya, hal itu akan sangat mempermudah proses kreatif. Dalam proses kreatif ini, kita akan menemukan keasyikan tersendiri untuk mengembangkan unsur-unsur penting dalam cerita. Mengembangkan konflik atau masalah dalam cerita pendek itu. Mengembangkan karakter-karakter tokohnya. Mengembangkan alur. Membuat ending, dan sebagainya.

Bisa jadi, cerpenmu adalah konflik utama yang menjadi “tubuh” cerita. Bisa jadi cerpenmu adalah awalan sebuah cerita yang lebih panjang, mungkin juga sudah merupakan keseluruhan cerita yang perlu dipanjangkan di beberapa fragmen. Dan, bisa jadi cerpenmu adalah sebuah ending. Tergantung dari cerita itu. Kita perlu jeli juga melihat “ruang kosong” dalam cerpen itu karena jangan sampai ruang itu malah penuh sesak dan tak enak dilihat. Juga perhatikan cerita yang akan dikembangkan karena ada cerpen yang hanya cocok jadi cerpen dan jika dipanjangkan akan merusak cerita (cerita “Penjual Kenangan” dalam buku saya merupakan salah satu contoh yang saya pikir akan “rusak” jika dipanjangkan). Bahkan, sebuah sajak pun bisa menjadi sebuah cerita (cerpen, misalnya), Jika dibawakan dengan cantik, alih-alih merusak sajak, bagi saya, cerita itu memberikan sebuah pengalaman baru kepada saya sebagai pembaca.

***

Dalam PENJUAL KENANGAN, buku terbaru saya yang diterbitkan Bukune, novela yang ada di dalamnya merupakan jelmaan dari cerita pendek. Saat menuliskannya, saya merasa seperti memberikan ruang gerak yang lebih luas kepada tokoh-tokoh cerita saya dan ikut senang dengan perkembangan mereka. Menguak rahasia, masa lalu, juga harapan yang belum terungkap dengan jelas di cerpen. Dan, kabar baiknya lagi, saya pun mampu menyelesaikannya dengan waktu yang tidak terlalu lama.

Penjual Kenangan berisi sebuah novela "Carano" dan 10 cerita pendek. Dan, "Carano" itulah yang merupakan jelmaan dari sebuah cerita pendek. Dari cerpen yang tujuh halaman ini menjelma sebuah novel berpuluh halaman. Ceritanya tentang bagaimana jika kau punya kesempatan kedua untuk cinta? Namun, ada luka yang kau dapati dari orang yang kau sayang.

Carano itu merupakan tempat sirih, sebuah benda penting dalam budaya Minangkabau, Sumatra Barat. Biasanya, carano dibawa saat meminang ke tempat calon pengantin laki-laki. Dulang berkaki yang terbuat dari kuningan itu memiliki bentuk khas yang memiliki ceruk yang akan diisi dengan “alat-alat” wajib.

Alat atau isi sebuah carano itu begitu mendalam maknanya: sirih lengkap dengan kapur, gambir, pinang, dan juga tembakau. Dalam rasa sirih yang pahit dan manis, ada simbol harapan dan kearifan manusia menyikapi kekurangannya. Kisah “Carano” dalam Penjual Kenangan menyuguhkan makna isi carano, serta hubungannya dengan kesempatan kedua dalam cinta. Luka. Harap. Masa lalu. Takdir. Kearifan hidup, yang bertahun-tahun mengisi carano, mungkinkah perlu disingkirkan sementara dan biarkanlah cinta mengisi penuh ceruk kosong dalam carano?

Itu sedikit tentang “Carano”, sebuah novela dalam Penjual Kenangan. Lalu, tentang apakah cerita 10 cerita pendek yang juga ada di dalam buku ini? :D

Untuk cerita pendek yang berjudul "Penjual Kenangan", ini kisah tentang kenangan dan tentang bagaimana jika harapan yang kau punya bagai udara di dalam ruang kaca, yang semakin lama semakin menyempit. Selain “Penjual Kenangan”, ada juga tentang peri tak bisa terbang yang jatuh cinta kepada petualang, tentang kisah kunang-kunang, kisah hati yang selalu berdusta pada waktu. Pula kisah harap yang tak bertepi, kisah sebuah tengara dari langit, kisah perempuan yang duduk di persimpangan hati, menunggu lelakinya akan datang seperti janji di selipan surat yang telah menua, dan kisah lainnya.

Dan, mungkin saja, ada yang serupa dengan kisahmu. :)

So, alasan apa lagi yang bikin kita membatasi diri hanya di ruang “cerita pendek”? Ada ruang-ruang luas dan menarik juga yang bisa kita isi di sebuah cerita panjang. Selamat menulis. Dan, jika kau lelah, marilah duduk di sini, berdua kita menjual kenangan. ;)



P.S.

Oh ya, meski judul buku ini, Penjual Kenangan, serupa namanya dengan nama blog saya, ini bukan tulisan (galau) yang ada di blog. :p #serupatapitaksama. Mengapa Penjual Kenangan? Ini tentang bagaimana jika kau tak ingin menyimpan kenangan, tetapi tak jua ingin membuangnya. Ia terlalu berharga, tetapi juga tak bisa kau simpan, sendiri.

Intip juga trailer Penjual Kenangan di sini:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar